Langsung ke konten utama

Perekonomian Indonesia 2

BAB V
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
A.   KONSEP DAN PENGERTIAN KEMISKINAN

1)    Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002:3).
2)    Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos,2002:4).
3)    Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004).
4)    Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001).
5)    Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi:

(a)   modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan),
(b)   sumber keuangan (pekerjaan, kredit),
(c)   organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial),
(d)   jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa,
(e)   pengetahuan dan keterampilan, dan
(f)     informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).

B.   GARIS KEMISKINAN

1)    Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
2)    Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll)
3)    Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Sumber Data :
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.

Rumus Penghitungan :
GK = GKM + GKNM

GK      = Garis Kemiskinan
GKM   = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan

Teknik penghitungan GKM
Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi (reference populaion) yaitu 20 persen penduduk yang berada diatas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal. GKS dihitung berdasar GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :

Dimana :
GKMj = Gris Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori).
Pjk    = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk    = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.
Vjk    = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
j        = Daerah (perkotaan atau pedesaan)

Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga :



 Dimana :
Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j
HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j



Dimana :
Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.

Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun 1998 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi /sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKP 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :


 Dimana:
NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).
Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004).
i = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p.
p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).

C.   PENYEBAB DAN DAMPAK KEMISKINAN

Dampak kemiskinan begitu bervariasi karena kondisi dan penyebab yang berbeda memunculkan akibat yang berbeda juga.

Pengangguran merupakan dampak dari kemiskinan, berhubung pendidikan dan keterampilan merupakan hal yang sulit diraih masyarakat, maka masyarakat sulit untuk berkembang dan mencari pekerjaan  yang layak untuk memenuhi kebutuhan. Dikarenakan sulit untuk bekerja, maka tidak adanya pendapatan membuat pemenuhan kebutuhan sulit, kekurangan nutrisi dan kesehatan, dan tak dapat memenuhi kebutuhan penting lainnya. Misalnya saja harga beras yang semakin meningkat, orang yang pengangguran sulit untuk membeli beras, maka mereka makan seadanya. Seorang pengangguran yang tak dapat memberikan makan kepada anaknya akan menjadi dampak yang buruk bagi masa depan sehingga akan mendapat kesulitan untuk waktu yang lama.

Kriminalitas merupakan dampak lain dari kemiskinan. Kesulitan mencari nafkah mengakibatkan orang lupa diri sehingga mencari jalan cepat tanpa memedulikan halal atau haramnya uang sebagai alat tukar guna memenuhi kebutuhan. Misalnya saja perampokan, penodongan, pencurian, penipuan, pembegalan, penjambretan dan masih banyak lagi contoh kriminalitas yang bersumber dari kemiskinan. Mereka melakukan itu semua karena kondisi yang sulit mencari penghasilan untuk keberlangsungan hidup dan lupa akan nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan. Di era global dan materialisme seperti sekarang ini tak heran jika kriminalitas terjadi dimanapun.

Putusnya sekolah dan kesempatan pendidikan sudah pasti merupakan dampak kemiskinan. Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan rakyat miskin putus sekolah karena tak lagi mampu membiayai sekolah. Putus sekolah dan hilangnya kesempatan pendidikan akan menjadi penghambat rakyat miskin dalam menambah keterampilan, menjangkau cita-cita dan mimpi mereka. Ini menyebabkan kemiskinan yang dalam karena hilangnya kesempatan untuk bersaing dengan global dan hilangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kesehatan sulit untuk didapatkan karena kurangnya pemenuhan gizi sehari-hari akibat kemiskinan membuat rakyat miskin sulit menjaga kesehatannya. Belum lagi biaya pengobatan yang mahal di klinik atau rumah sakit yang tidak dapat dijangkau masyarakat miskin. Ini menyebabkan gizi buruk atau banyaknya penyakit yang menyebar.

Buruknya generasi penerus adalah dampak yang berbahaya akibat kemiskinan. Jika anak-anak putus sekolah dan bekerja karena terpaksa, maka akan ada gangguan pada anak-anak itu sendiri seperti gangguan pada perkembangan mental, fisik dan cara berfikir mereka. Contohnya adalah anak-anak jalanan yang tak mempunyai tempat tinggal, tidur dijalan, tidak sekolah, mengamen untuk mencari makan dan lain sebagainya. Dampak kemiskinan pada generasi penerus merupakan dampak yang panjang dan buruk karena anak-anak seharusnya mendapatkan hak mereka untuk bahagia, mendapat pendidikan, mendapat nutrisi baik dan lain sebagainya. Ini dapat menyebabkan mereka terjebak dalam kesulitan hingga dewasa dan berdampak pada generasi penerusnya.

D.   PERTUMBUHAN KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

Merupakan hubungan antara pertumbuhan dan kesenjangan.

Hubungan antara tingkat kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis ini berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya kembali menurun. Indikasi yang digambarkan oleh Kuznet didasarkan pada riset dengan menggunakan data time series terhadap indikator kesenjangan Negara Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.

Pemikiran tentang mekanisme yang terjadi pada phenomena “Kuznet” bermula dari transfer yang berasal dari sektor tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan menengah). Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial dapat menaikan kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing sektor (Ferreira, 1999, 4).

Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyebutkan kan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasawarsa) memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan initial level of income (Deininger & Squire, 1996). Periode pertumbuhan ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan kesenjangan pendapatan yang menurun.

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

E.    BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

Selain indikator kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah, belum ada indikator yang benar-benar tepat dan sesuai untuk digunakan untuk menggambarkan kondisi kemiskinan yang dapat diberlakukan secara umum dan baku terhadap semua komunitas, bukan hanya dari aspek kehidupan ekonominya tetapi juga dari aspek lain, misalnya aspek sosial, hukum dan politik. Menurut Emil Salim (1982)[3], penentuan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok (yang kemudian disebut sebagai garis kemiskinan), dapat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : 1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, 2) posisi manusia dalam lingkungan sekitar dan 3) kebutuhan obyetif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi. Pendapat ini menunjukkan bahwa memang tidak ada standar yang bisa digeneralisir terhadap semua kelompok masyarakat untuk menetapkan suatu kondisi dan situasi sebagai masalah kemiskinan. Oleh karena itu, indikator-indikator kemiskinan yang masih berlaku dan digunakan untuk menetapkan suatu kondisi sebagai masalah kemiskinan masih menggunakan indikator-indikator

Beberapa metode pengukuran yang digunakan dalam menetapkan indikator kemiskinan adalah sebagai berikut :

a. Metode pengukuran jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari

Metode ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Standar kebutuhan minimum per orang per hari menurut BPS adalah 2100 kalori. Pemenuhan jumlah kalori tersebut sudah diperhitungkan dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk. Pemenuhan kebutuhan lainnya (non makanan) diperhitungkan dari 45 jenis komoditi non makanan dengan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Jumlah pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku di masing-masing wilayah kemudian ditetapkan sebagai garis kemiskinan penduduk di suatu wilayah.

b. Metode pengukuran pendapatan yang disetarakan dengan nilai tukar beras per kapita per tahun

Metode ini dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo (1980) untuk mengukur tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar beras, yaitu :

1) Kelompok paling miskin : bila pendapatannya kurang dari nilai tukar beras sebesar 240 kg/kapita/tahun.

2) Kelompok miskin sekali : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 240 kg sampai dengan 360 kg per kapita/tahun.

3) Kelompok miskin : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per kapita/tahun.

4) Kelompok cukup : bila pendapatannya setara dengan nilai tukar beras sebesar 480 kg sampai dengan 960 kg per kapita/tahun.

5) Kelompok kaya : bila pendapatannya sama atau lebih dari nilai tukar beras sebesar 960 kg per kapita/tahun.

c. Metode pengukuran berdasarkan kriteria kesejahteraan keluarga

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004 menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur kemiskinan. Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN adalah sebagai berikut :

1) Keluarga Pra Sejahtera

Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

2) Keluarga Sejahtera I

Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang digunakan, yaitu :

a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut.

b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.

c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.

d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.

3) Keluarga Sejahtera II

Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan indikator sebagai berikut :

a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.

b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.

c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.

d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.

e) Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.

f) Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap.

g) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.

h) Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.

i) Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).

4) Keluarga Sejahtera III

Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator sebagai berikut :

a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga.

c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota keluarga.

d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam enam bulan.

f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi.

g) Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi.

5) Keluarga Sejahtera III Plus

Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan ditambah dua syarat berikut :

a) Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.

b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.

Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat sering diperdebatkan di berbagai kalangan karena selain rumit, keluarga-keluarga yang didata belum tentu memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator yang mungkin tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila kurang aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk menerapkan indikator dari BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui di daerah pedesaan. Rumah di perdesaan yang letaknya jauh dari pusat kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu bentuk dan bahan bangunan rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan tanpa mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan ternak yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak miskin.

d. Metode pengukuran jumlah pendapatan

Bank Dunia menggunakan metode pengukuran jumlah pendapatan minimal per hari per orang untuk menentukan garis kemiskinan. Menurut Bank Dunia, pendapatan minimal per orang per hari adalah U$ 1 (setara dengan Rp. 9.000,-). Penetapan pengukuran pendapatan ini tidak disertai dengan pengukuran pengeluaran per orang per hari dengan asumsi bahwa selain kebutuhan makanan pokok, pengeluaran untuk jenis kebutuhan lain (non makanan) tidak selalu dilakukan setiap hari. Apabila disetarakan dengan pendapatan per bulan maka seseorang dikatakan miskin apabila penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp. 600.000,-.

e. Metode pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar

Indikator kemiskinan dengan menggunakan pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar ini dikemukakan oleh BAPPENAS. Masing-masing indikator tersebut adalah :

1) Terbatasnya kecukupan pangan, yaitu kurang dari 2.100 kkal/orang/hari.

2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan yang disebabkan oleh kesulitan mendapat layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh serta biaya perawatan dan pengobatan yang mahal.

3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.

4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah dan lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.

5) Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,

6) Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.

7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.

8) Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.

9) Lemahnya jaminan rasa aman.

10) Lemahnya partisipasi.

11) Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

Seringkali kondisi kemiskinan yang dialami suatu komunitas tidak memenuhi semua unsur indikator yang telah disebutkan. Indikator-indikator yang terlihat jelas dan berlaku pada komunitas secara umum adalah : 1) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, 2) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, 3) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, 4) terbatasnya akses terhadap air bersih, 5) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, 6) terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam dan 7) lemahnya partisipasi. Perbedaan kemampuan anggota komunitas dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kepemilikan aset/lahan secara tidak langsung telah membuat stratifikasi sosial dalam komunitas. Stratifikasi sosial ini tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang dan pengukuran komunitas terhadap tingkat ekonomi warganya.

F.    KEMISKINAN DI INDONESIA

permasalahan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah indonesia saat ini adalah kemiskinan, disamping masalah-masalah yang lainnya. dewasa ini pemerintah belum mampu menghadapi atau menyelesaikan permasalahan kemiskinan.

Menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia telah dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya penurunan kemiskinan di tahun 1970-an tidak maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Disamping itu kecenderungan ketidakmerataan pendapatan nasional melebar yang mencakup antar sektor, antar kelompok, dan ketidakmerataan antar wilayah.

 berdasarkan data Bank Dunia jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10 sampai 20% tetapi telah mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 215 juta jiwa.(www.ismailrasulong.wordpress.com).

Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan, juga karena infrastruktur yang juga belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat memperbaiki kehidupannya, selain itu juga karna SDM, SDA, Sistem, dan juga tidak terlepas dari sosok pemimpin. Kemiskinan harus diakui memang terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai negara bangsa, bahkan hampir seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengurus persoalan kemiskinan. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, mengapa masalah kemiskinan seakan tak pernah habis, sehingga di negara ini, rasanya tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, kemiskinan menyebabkan banyak orang melakukan prilaku menyimpang, harga diri diperjual belikan hanya untuk mendapatkan makan. Si Miskin rela mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi mereka yang memiliki uang dan memegang kendali atas sektor perekonomian lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit. Bahkan yang lebih parah, kemiskinan telah membuat masyarakat kita terjebak dalam budaya memalas, budaya mengemis, dan menggantungkan harapannya dari budi baik pemerintah melalui pemberian bantuan. kemiskinan juga dapat meningkatkan angka kriminalitas, kenapa penulis mengatakan bahwa kemiskinan dapat meningkatkan angka kriminalitas, jawabannya adalah karna mereka (simiskin) akan rela melakukan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya, baik itu mencuri, membunuh, mencopet, bahkan jika ada hal yang lebih keji dari itu ia akan tega dan berani melakukannya demi hidupnya. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus kita salahkan. kemiskinan seakan menjadi sebuah fenomena atau sebuah persoalan yang tak ada habis-habisnya, pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani persoalan kemiskinan, pemerintah lebih membiarkan mereka mengemis dan mencuri ketimbang memikirkan cara untuk menanggulangi dan mengurangi tingkat kemiskinan dan membebaskan Negara dari para pengemis jalanan karna kemiskinan.

G.   FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN

Dalam Paket Informasi Dasar (BKPK, 2001: 4) disebutkan bahwa faktorfaktor penyebab yang mendasar dari kemiskinan itu adalah sebagai berikut: (i) Kegagalan kepemilikan, terutama tanah, dan modal; (ii) Terbatasnya ketersediaan bahan baku kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (iv) Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (v) Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (vi) Rendahnya produktifitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (vii) Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; (viii) Tidak adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); dan (ix) Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. Sedangkan penyebab kemiskinan menurut suara orang miskin (dalam
BKPK, 2001: 5) yaitu: (i) Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk: modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan, dan kesehatan yang memadai; modal produksi, misalnya lahan dan akses terhadap kredit; modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik; sarana fisik, misalnya akses terhadap prasana dasar seperti jalan, air bersih, listrik; dan hidup di daerah yang terpencil; (ii) Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan goncangan karena: krisis ekonomi; kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan; kehilangan pekerjaan (PHK); konflik sosial dan politik; korban kekerasan sosial dan rumah tangga; bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global); serta musibah seperti jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit) dan; (iii) Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena; tidak ada kepastian hukum; tidak ada perlindungan dari kejahatan; kesewenang-wenangan aparat; ancaman dan intimidasi; kebijakan public yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan; rendahnya posisi tawar masyarakat miskin. Acemoglu (dalam Banerjee et al, 2006:19) menyatakan bahwa penyebab fundamental terjadinya perbedaan kesejahteraan antar negara adalah kondisi geografis dan insitusi/lembaga yang ada. Unsur geografis yang dianggap sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan adalah iklim yang mempengaruhi usaha dalam bekerja, insentif dan produktivitias. Kemudian kondisi geografis juga dapat mempengaruhi teknologi yang digunakan oleh masyarakat terutama di bidang pertanian. Dan yang terakhir adalah hambatan penyakit menular. “The burden of infectious disease is similarly higher in the tropics than in the temperate zones” (Sach, 2000: 32). Kondisi geografis menekankan pada kekuatan alam sebagai faktor utama terhadap kemiskinan suatu masyarakat sedangkan kondisi institusi/kelembagaan merupakan pengaruh buatan manusia (man-made influence). Menurut pandangan ini kelompok masyarakat yang ada diorganisir untuk menjunjung tinggi hukum, mendorong investasi diberbagai bidang, memfasilitasi partisipasi masyarakat yang luas, dan mendukung transaksi pasar. Terdapat tiga elemen penting institusi yang baik yakni: (i) penegakkan dan pengakuan terhadap hak kepemilikan diranah masyarakat luas, sehingga setiap individu memiliki insentif untuk berinvestasi dan terlibat dalam kegiatan ekonomi; (ii) pembatasan terhadap kaum elite, politisi dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkuasa sehingga mereka tidak dapat mengambil alih atau menguasai pendapatan atau investasi dari yang lain dan menciptakan “permainan” yang tidak seimbang; (iii) kesempatan yang sama pada segmen masyarakat yang luas sehingga mereka dapat ikut berinvestasi terutama sumber daya manusia dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif. Menurut Sharp et.al (1996: 167) penyebab kemiskinan adalah (i) ketidaksamaan kepemilikan sumberdaya; (ii) perbedaan kualitas sumberdaya manusia; dan (iii) perbedaan dalam akses modal. Sedangkan Todaro berpendapat bahwa perbedaan kemiskinan disebabkan oleh faktor yaitu: (i) perbedaan geografis, penduduk dan pendapatan; (ii) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan; (iii) perbedaan sumber alam dan manusia; (iv) perbedaan sektor swasta dan negara; (v) perbedaan struktur perindustriannya; (vi) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain, dan (vii) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Sementara pendapat yang lain melihat munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat berkaitan dengan lemahnya budaya, yaitu nilai hidup dalam masyarakat. Bradshaw (2005) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor penyebab kemiskinan yakni: (i) kemiskinan yang disebabkan kekurangan yang terdapat dalam diri individu itu sendiri, dalam hal ini individu dianggap bertanggung jawab atas kondisi kemiskinan mereka sendiri karena dianggap kurang bekerja keras atau kekurangan secara genetik seperti kurang pandai atau intelegensianya kurang; (ii) kemiskinan yang disebabkan oleh sistem budaya miskin dan dukungan subbudaya miskin, yaitu kemiskinan diciptakan melalui transmisi kepercayaan, nilai-nilai, dan kemampuan sosial dari generasi ke generasi; (iii) kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi ekonomi, politik dan distorsi sosial atau diskriminasi sehingga masyarakat memiliki kesempatan dan sumberdaya yang terbatas dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya; (iv) kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis; dan (v) kemiskinan yang disebabkan oleh kumulatif dan siklus ketergantungan antara individu dan sumberdaya, dimana individu yang tidak memiliki sumberdaya tidak mampu untuk berpartisipasi dalan kegiatan ekonomi yang lebih luas yang menyebabkan sedikitnya pembayaran pajak. Seperti antara pendidikan dan bekerja yang saling terkait dimana sedikitnya kesempatan kerja menyebabkan terjadinya migrasi, penutupan toko retail, dan penurunan pendapatan pajak setempat, yang mengakibatkan kondisi sekolah memburuk, sehingga pekerja memiliki
keterampilan yang buruk dan perusahaan tidak dapat menyerap tenaga kerja setempat dengan kemampuan rendah. Siklus ini berulang pada level individu yakni sedikitnya kesempatan kerja menyebabkan berkurangnya konsumsi dan pembelanjaan karena sedikitnya pendapatan, sedikit tabungan dan berarti individu tidak dapat berinvestasi di bidang pelatihan, dan individu memiliki sedikit kemampuan untuk berinvestasi pada usaha sendiri. Tahapan lain lingkaran kemiskinan adalah pandangan bahwa individu yang tidak memiliki pekerjaan dan sedikit pendapatan menyebabkan kurangnya rasa percaya diri, motivasi yang rendah dan depresi. Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah adanya kegagalan kepemilikan asset, kondisi geografis yang kurang mendukung, kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan, kekurangan sumberdaya baik kualitas maupun kuantitas, tidak memiliki keterwakilan dalam institusi negara dan masyarakat, dan siklus yang menyebabkan kemiskinan berulang dari generasi ke generasi sehingga berpengaruh terhadap kondisi psikologis individu yakni rasa rendah diri, motivasi kurang dan bahkan depresi.

H.   KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN

Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
1.      pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2.      Pemerintahan yang baik (good governance)
3.      Pembangunan sosial

Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
 a.     Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
b.     Intervensi jangka menengah dan panjang
o   Pembangunan sektor swasta
o   Kerjasama regional
o   APBN dan administrasi
o   Desentralisasi
o   Pendidikan dan Kesehatan
                    o   Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan




Soal dan jawaban

  1.    Menurut bps dan depsos 2002:3, kemiskinan adalah ……
a. ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak
b. sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan
c. orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan
d. ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial.
  2.   Rumus perhitungan garis kemiskinan adalah ……
a. GK=GKM+GKNM
b. GK=GKM-GKNM
c. GKM=GK+GKNM
d. salah semua
  3.   penentuan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok (yang kemudian disebut sebagai garis kemiskinan), dapat dipengaruhi oleh tiga hal adalah …..
a. persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
b. posisi manusia dalam lingkungan sekitar
c. kebutuhan obyetif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi
d. benar semua
  4.   faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah …..
a. adanya kegagalan kepemilikan asset,
b. kondisi geografis yang kurang mendukung
c. kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan
d. semua benar
  5.   Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan adalah …..
a. pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
b. Pemerintahan yang baik (good governance)
c. benar semua
d. Pembangunan sosial


BAB VI
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOM DAERAH
A.   UU OTONOM DAERAH

UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:

“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 18 ayat (7), bahwa:

“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.

B.   PERUBAHAN PENERIMAAN DAERAH DAN PERANAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah

Ø  Pendapatan daerah: PAD, bagi hasil pajak dan non pajak, pemberian dari pemerintah

Ø  Dalam UU No. 25 ada tambahan pos penerimaan daerah yaitu dana perimbangan dari pemerintah pusat

Ø  Beberapa dampak dari diberlakukannya UU No. 25 terhadap keuangan daerah adalah :

§  Peranan PAD  dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan finansial daerah terhadap pemerintah pusat.

§  Ada Korelasi positif antara daerah yang kaya SDA dan SDM  dengan peranan PAD dalam APBD

§  Pada tahun 1998/1999 terjadi penurunan PAD dalam pembentukan APBD-nya, salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda tanah air.

C.   PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL

Ketika ekonomi perkotaan dan regional mulai berkembang menjadi sebuah cabang ilmu ekonomi yang terpisah (dasawarsa 1950 dan 1960an), sebagian besar ekonom yang memiliki minat di bidang ini berpikir bahwa cabang ilmu ekonomi perkotaan dan regional benar-benar berbeda dengan cabang ilmu ekonomi lainnya. Namun, perkembangan selanjutnya (pada akhir dasawarsa 1960 dan awal 1970-an) menunjukkan bahwa cabang ilmu ekonomi perkotaan dan regional sebenarnya merupakan suatu bagian yang vital dari disiplin ilmu ekonomi secara keseluruhan dan terkait dengan disiplin ilmu lainnya. Selain itu, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa teori serta metode yang digunakan oleh para ahli geografi, khususnya ahli ekonomi geografi, tidak berbeda jauh dengan yang digunakan oleh para ahli ekonomi perkotaan dan regional di dalam pembahasan kewilayahan.

Carl J. Sinderman, seorang ahli biologi dalam bukunya The Joy of Science menjelaskan bahwa, “what a beautiful blueprint for action!...What a fraud! There is no single scientific method;...Reality, for most professionals, is far sloppier than the neat textbook ‘scientific method,’ and follows no single pathway”. Sinderman, ingin menekankan bahwa masing-masing ilmuwan tidak perlu memperdebatkan metode ilmiah yang paling benar. Beragam metode dengan pendekatan yang berbeda, tetap dapat memberi kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Saat ini, banyak ilmuwan yang tertarik dengan bidang atau kajian yang serupa, walaupun menggunakan metode ilmiah yang berbeda. Integrasi dari semua karya ilmiah yang dikerjakan di masing-masing bidanglah yang justru memajukan pengetahuan dan bukan hanya hasil kajian ilmu tertentu saja.

Pernyataan di atas bukan untuk menjelaskan bagaimana analisis kewilayahan harus mengikuti berbagai aturan positivisme ilmiah, tetapi lebih untuk mempertegas bahwa tidak hanya satu metode ilmiah saja yang dapat digunakan. Lebih baik jika kita peduli terhadap manfaat analisis kewilayahan sebagai landasan bagi penyusunan kebijakan kewilayahan, dan tidak memperdebatkan metode ilmiah yang digunakan masing-masing ilmuwan. Analisis kewilayahan lebih merupakan sebuah pendekatan berbagai teori, kebijakan, dan perencanaan sosial yang terintegrasi.

Pemahaman tentang kekuatan ekonomi dibalik perkembangan suatu wilayah merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam menyusun perencanaan pengembangan wilayah. Dalam kenyataannya selama ini, aspek teknis memiliki porsi peranan yang lebih besar ketimbang aspek lainnya, seperti ekonomi dan sosial. Kondisi tersebut saat ini mulai berubah dimana perencanaan wilayah tidak lagi mengabaikan unsur perkembangan ekonomi dan sosial, karena adanya fenomena bahwa suatu wilayah akan berkembang dan terpolarisasi sebagai akibat dari perkembangan aktivitas ekonomi dan sosial. Sebagai contoh, Kota London yang dikenal sebagai pusat aktivitas finansial dunia, berkembang menjadi Greater London karena munculnya aktivitas-aktivitas ekonomi dan sosial yang baru di sekitar wilayah pinggirannya. Perkembangan aktivitas tersebut bahkan tidak mampu diprediksi sebelumnya, sehingga sempat terjadi penyalahgunaan pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, perencanaan wilayah memang mutlak melibatkan sudut pandang yang bersifat multi dimensi sehingga pengaturan ruang memang sesuai perkembangan alamiah suatu wilayah.

Dalam perkembangannya, konsep mengenai perencanaan wilayah terus mengalami evolusi. Penerapan prinsip-prinsip laissez-faire, dimana pasar dibiarkan bebas bekerja sehingga campur tangan pemerintah dalam bentuk perencanaan tidak banyak dibutuhkan, ternyata tidak tepat lagi dalam konteks pembangunan wilayah modern. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa mekanisme pasar belum tentu dapat mengatasi semua permasalahan yang muncul dan dibutuhkan campur tangan pemerintah yang lebih luas lagi. Dengan adanya intervensi pemerintah dalam bentuk penyusunan perencanaan maka diharapkan alokasi sumberdaya menjadi lebih baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara agregat.

Bermacam-macam persoalan yang dapat muncul akibat adanya dominasi prinsip-prinsip laissez-faire, antara lain pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkendali, distribusi pendapatan yang tidak merata, terbatasnya penyediaan barang-barang publik, masalah pengangguran, ketidakstabilan kondisi sosial dan ekonomi, tingkat kriminalitas yang tinggi, kesemrawutan tata ruang. Berbagai masalah ini akan semakin parah jika campur tangan pemerintah dikurangi atau dihilangkan sama sekali.

Berbagai deskripsi di atas menunjukkan pentingnya peranan ekonom regional dalam penyusunan perencanaan pengembangan wilayah. Bagaimanapun juga, pemahaman terhadap suatu wilayah harus dilandasi oleh pemahaman tentang aktivitas ekonomi apa saja yang ada di dalam wilayah tersebut, termasuk bagaimana aktivitas tersebut bisa terbentuk. Penentuan lokasi yang dilakukan para agen ekonomi (perusahaan dan rumah tangga) tentunya didasarkan pada rasionalitas yang mereka miliki. Ekonom regional memiliki berbagai peralatan analisis yang dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis mengapa terbentuk suatu aktivitas ekonomi, dimana aktivitas tersebut terbentuk, bagaimana aktivitas tersebut dapat berkembang, dan apa dampak ekonomi dari perkembangan aktivitas tersebut dalam konteks spasial. Analisis yang dilakukan oleh para ekonom regional tidak terbatas hanya untuk memahami aktivitas ekonomi di dalam suatu wilayah saja, tetapi juga mencoba mengidentifikasi keterkaitan dan interaksi antar wilayah. Berbagai alat analisis seperti model input-output, economic base theory dan shift-share analysis, sistem neraca sosial ekonomi (social accounting matrix), model keseimbangan umum (general equilibrium model), model gravitasi, berbagai indeks ketimpangan wilayah, maupun ekonometrika spasial menjadi kekuatan yang dimiliki para ekonom regional dalam menganalisis ekonomi wilayah dengan baik.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pembangunan wilayah di Indonesia harus dilaksanakan secara terpadu dengan menyusun perencanaan dari sudut pandang pengembangan wilayah (regional development). Secara teoritis pembangunan wilayah harus dapat menyeimbangkan kepentingan lokal dengan tujuan nasional secara keseluruhan. Keterpaduan kepentingan tersebut melibatkan keterpaduan antar sektor, baik sektor-sektor ekonomi, sektor-sektor non-ekonomi dan antara kawasan rural maupun urban. Dalam konteks pembangunan wilayah, ekonom regional dapat berperan untuk menganalisis kecenderungan arah pergerakan aktivitas ekonomi di masa mendatang. Ini dapat membantu para perencana teknis untuk merencanakan pembangunan infrastruktur sesuai arah kebutuhan aktivitas yang diinformasikan oleh para ekonom regional. Tanpa kerjasama antara ekonom regional dengan para perencana, pembangunan wilayah dapat menempatkan aktivitas di ruang yang salah.

Saat ini, para ekonom regional menggunakan pendekatan baru dalam konteks penyusunan perencanaan wilayah. Mereka tidak lagi sekedar percaya pada historical data untuk mengamati perilaku ekonomi yang ada di suatu wilayah. Salah satu kelemahan para perencana wilayah di masa lalu ialah adanya keyakinan dari mereka bahwa perilaku ekonomi wilayah di masa lalu dapat menjadi acuan dalam merencanakan masa depan suatu wilayah. Ini ibarat melihat “kaca spion” ketika mengemudi, dengan harapan bahwa jalan yang akan dilalui di depan, sama polanya dengan jalan yang telah dilewati. Akibatnya, perencanaan wilayah seringkali mengalami kendala karena kesalahan di dalam memprediksi masa depan. Oleh karenanya, para ekonom regional saat ini menggunakan kombinasi antara traditional tools dengan pendekatan modern seperti multi-sector analysis (MSA) dan cluster analysis. Salah satu penekanan dalam pendekatan modern ini ialah adanya keyakinan bahwa setiap perencanaan wilayah harus didesain untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan kejadian di masa mendatang. Hal ini mengingat semakin tingginya derajat ketidakpastian (uncertainty) perekonomian dan kondisi iklim dunia, sehingga kemampuan antisipasi lebih penting ketimbang sekedar mengikuti pola perilaku yang sudah ada.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tidak mungkin dalam mengembangkan wilayah hanya menggunakan satu pendekatan ilmu atau metode saja. Peranan ekonom regional merupakan bagian yang penting dan tidak terpisahkan dalam perencanaan maupun analisis pengembangan wilayah, dan sama pentingnya dengan peran para perencana dari disiplin ilmu non-ekonomi. Karakteristik setiap wilayah tentunya tidak sama, sehingga membutuhkan kejelian dan kemampuan intuisi para perencana wilayah untuk mengkombinasikan berbagai pendekatan ilmu yang ada

D.   FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN

Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.

2. Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.


Menurut Adelman dan Morris (1973):
Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2010) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu:

Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;
Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;
Ketidakmerataan pembangunan antar daerah;
Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;
Rendahnya mobilitas sosial;
Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan hargaharga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;
Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang; dan
Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

E.    PEMBANGUNAN INDONESIA TIMUR
          F. TEORI DAN ANALISIS PEMBANGUNAN
           
          SOAL DAN JAWABAN

           6. implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar      1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata  negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia disebut .....
            A. UU OTONOMI DAERAH
            B. UU DASAR 1945
            C. UU PEMERINTAH
            D. SALAH SEMUA

           7. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa .....
            a. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam                 undang-undang
            b. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan                   mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas                         pembantuan
            c. tambahan pos penerimaan daerah yaitu dana perimbangan dari pemerintah                 pusat
            d. Pemerintahan Daerah

           8. Berikut ini beberapa faktor-faktor penyebab ketimpangan, kecuali .....
           a. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
           b. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
           c. tidak ada jawaban
           d. Alokasi dana pembangunan antar wilayah

           9. Siapa seorang ahli biologi dalam bukunya yang berjudul The Joy of Science ?
           a. Sinderman
           b. J. Carl
           c. Sinderman J. Carl
           d. Carl J. Sinderman

            10. Siapa yang mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan                 distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang ?
            a. Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2010)
            b. Morris (1953) dalam Arsyad (2015)
            c. dalam Arsyad (2015) Adelman dan Morris (1963)
            d. Salah Semua

BAB VII
SEKTOR PERTANIAN          
                Sektor Pertanian, Perkebunan dan Perikanan
Dukungan pada Sektor Pertanian di Indonesia - Dukungan Irigasi

Kurang lebih 18% dari penduduk di Indonesia bekerja di sektor pertanian, sebagian besar dalam skala sangat kecil. Oleh karena 2/3 dari penduduk miskin di negara ini bekerja di sektor pertanian, maka kemajuan di sektor pertanian berpengaruh pada bangkitnya industri yang berhubungan dan pada akhirnya bermanfaat bagi pengurangan kemiskinan.

Setelah Indonesia berhasil mencapai swa sembada pangan pada tahun 1984, tidak ada kemajuan ekonomi yang berarti sampai tahun 1997, peningkatan produksi juga terutama dititikberatkan pada pangan selain beras. Setelah krisis yang melanda Asia pada tahun 1998, harga pupuk dan obat-obatan pertanian melonjak tinggi, ditambah lagi dengan paceklik dan bencana alam, dan lain-lain sangat mempengaruhi produktifitas beras. Sampai saat sekarangpun stabilitas pengadaan beras masih bermasalah, maka akhir-akhir ini timbul kembali kesadaran terhadap pentingnya menjaga produktifitas beras.

Irigasi di pulau Sumbawa propinsi Nusa Tenggara Barat
Irigasi di pulau Sumbawa propinsi Nusa Tenggara Barat
Jepang, melalui berbagai macam skemanya telah memberikan bantuan terhadap kemajuan di sektor pertanian di Indonesia seperti pembenahan fondasi produksi pertanian, tehnik produksi pertanian, strategi pertanian, penelitian dan pengembangan, dan lain-lain. Oleh karena di Indonesia terdapat musim hujan dan kemarau, maka ketersediaan air selama setahun menjadi hal yang krusial, pembenahan sistim irigasi yang merupakan fondasi produksi pertanian, berpengaruh besar terhadap naiknya produktifitas pertanian.

Bantuan pembenahan sistim irigasi di Indonesia oleh Jepang, dilakukan melalui pinjaman Yen. Sampai dengan tahun 2007, telah dilaksanakan 49 proyek pembenahan irigasi dengan nilai bantuan sebesar 291,6 milyar Yen. Melalui proyek ini, irigasi pada sawah seluas 370 ribu hektar telah berfungsi kembali. Bantuan ini dimulai pada tahun 1970, melalui proyek perbaikan irigasi di delta sungai Brantas di propinsi Jawa Timur, kemudian dilanjutkan dengan proyek kanalisasi sungai Ular di propinsi Sumatera Utara(1971), berikutnya proyek Wai Jepara di propinsi Lampung (1973), proyek sejenis ini banyak dilakukan di pulau Jawa dan Sumatera. Memasuki era tahun 1980, dilaksanakan proyek irigasi di Riau Kanan, propinsi Kalimantan Selatan (1984), proyek irigasi Langkeme di propinsi Sulawesi Selatan(1985), dilanjutkan dengan proyek control irigasi skala kecil di propinsi Nusa Tenggara Timur (1989), dan lain-lain.

Demikianlah, diluar pulau Jawa dan Sumatrapun, proyek pembenahan irigasi ini telah dilaksanakan. Saat ini, di pulau Jawa dan Sumatra, melalui skema pinjaman Yen, sedang dilaksanakan proyek perbaikan dan pemeliharaan saluran irigasi yang telah ada (Proyek rehabilitasi dan pemeliharaan), kemudian untuk wilayah timur Indonesia seperti propinsi-propinsi di pulau Sulawesi, propinsi Nusa Tenggara Barat, propinsi Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain, sedang dilakukan pula proyek pembangunan dan perbaikan fasilitas irigasi (Proyek manajemen irigasi skala kecil).


Fasilitas irigasi di Langkeme propinsi Sulawesi Selatan
Pada proyek manajemen irigasi skala kecil, disamping pembenahan fasilitas irigasi, dibuat juga koperasi yang mengatur aliran air agar dapat digunakan dengan lebih efektif dan efisien, peningkatan kapabilitas pemerintah propinsi dan kabupaten, dan juga penerapan teknik intensifikasi beras (SRISystem of Rice Intensification) proyek yang dilaksanakan dengan kombinasi dari kegiatan ini berhasil meningkatkan produktifitas pertanian dan juga penghasilan para petani. Di laporkan bahwa koperasi penggunaan air yang bertugas menjaga fasilitas irigasi, berhasil menjalankan organisasinya dan menghasilkan keuntungan, irigasinya juga dipelihara dengan baik.


Dengan memanfaatkan irigasi yang telah teratur sehingga pengairan dapat dilakukan dengan sehemat mungkin (irigasi terpotong) SRI adalah sistim menanam dengan menggunakan bibit padi lebih sedikit dari cara menanam biasa. Setelah dilakukan perbandingan dengan wilayah yang menerapkan sistim penanaman biasa, penerapan sistem SRI pada beberapa proyek percobaan telah membuktikan bahwa sistem SRI dapat menaikkan produksi sebesar 84%, penggunaan air irigasi 40% lebih sedikit, dengan biaya operasi 25% lebih rendah. Menurut survey terhadap petani yang dilakukan di 5 propinsi yang menghasilkan keuntungan, didapat jawaban bahwa setelah diterapkannya sistim ini, disamping produksi berasnya naik, penghasilanpun bertambah, disamping itu, sebagian besar penghidupan petanipun meningkat.

SOAL DAN JAWABAN

11. sistim menanam dengan menggunakan bibit padi lebih sedikit dari cara menanam biasa disebut .....
a. SRI
b. SRA
c. SRU
d. SRE

12. wilayah timur Indonesia adalah .....
a. propinsi-propinsi di pulau Sulawesi, propinsi Nusa Tenggara Barat, propinsi Nusa Tenggara Timur
b. tidak ada jawaban
c. salah semua
d. benar semua

13. Indonesia berhasil mencapai swa sembada pangan pada tahun .....
a. 1994
b. 2004
c. 1984
d. 2014

14. Bantuan pembenahan sistim irigasi di Indonesia oleh .....
a. aceh
b. filandia
c. korea
d. jepang

15. Di pulau manakah yang proyek pembenahan irigasi ini telah dilaksanakan?
a. pulau jawa dan sumatra
b. hanya pulau jawa
c. salah semua
d. hanya pulau sumatra

BAB VIII
INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
A.   Konsep dan Tujuan Industrialisasi
                                                                 
Awal konsep industrialisasiè Revolusi industri abad 18 di Inggris è Penemuan metode baru dlm pemintalan dan penemuan kapas yg menciptakan spesialisasi produksi dan peningkatan produktivitas factor produksi.
Industrialisasiè suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi.
Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa Negara dengan penduduk sedikit & kekayaan alam melimpah seperti Kuwait & libya ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi.
Tujuan pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu :
(1)   Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri.
(2)   Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri.
(3)   Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian.
(4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur.
(5) Meningkatkan kemampuan teknologi.
(6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk.
(7) Meningkatkan penyebaran industri.

B.    Faktor-faktor Pendorong Industrialisasi

a.       Kemampuan teknologi dan inovasi
b.      Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c.       Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Negara yang awalnya memiliki industri dasar/primer/hulu seperti baja, semen, kimia, dan industri tengah seperti mesin alat produksi akan mengalami proses industrialisasi lebih cepat
d.      Besar pangsa pasar DN yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Indonesia dengan 200 juta orang menyebabkan pertumbuhan kegiatan ekonomi
e.       Ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi, jenis industri unggulan dan insentif yang diberikan.
f.       Keberadaan SDA. Negara dengan SDA yang besar cenderung lebih lambat dalam industrialisasi
g.      Kebijakan/strategi pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri orientasi ekspor.

C.    Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional

Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara itu. Perkembangan ini dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja industri secara keseluruhan.
Sejak krisis ekonomi dunia yang terjadi tahun 1998 dan merontokkan berbagai sendi perekonomian nasional, perkembangan industri di Indonesia secara nasional belum memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan perkembangan industri nasional, khususnya industri manufaktur, lebih sering terlihat merosot ketimbang grafik peningkatannya.
Sebuah hasil riset yang dilakukan pada tahun 2006 oleh sebuah lembaga internasional terhadap prospek industri manufaktur di berbagai negara memperlihatkan hasil yang cukup memprihatinkan. Dari 60 negara yang menjadi obyek penelitian, posisi industri manufaktur Indonesia berada di posisi terbawah bersama beberapa negara Asia, seperti Vietnam. Riset yang meneliti aspek daya saing produk industri manufaktur Indonesia di pasar global, menempatkannya pada posisi yang sangat rendah.

Industri manufaktur masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi Indonesia (comparative advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga berdasarkan kemampuan atau daya kreasi dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia (competitive advantage).

D.    Permasalahan Industrialisasi

Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang dibandingkan di DCs, hal ini karena :
1. Keterbatasan teknologi.
2. Kualitas Sumber daya Manusia.
3. Keterbatasan dana pemerintah (selalu difisit) dan sektor swasta.
4. Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan & penelitian masih rendah.


E.    Strategi Pembangunan Sektor Industri

Startegi pelaksanaan  industrialisasi :
1. Strategi substitusi impor (Inward Looking).
Bertujuan mengembangkan industri berorientasi domestic yang dapat menggantikan produk impor. Negara yang menggunakan strategi ini adalah Korea & Taiwan.
     Pertimbangan menggunakan strategi ini:
§ Sumber daya alam & Faktor produksi cukup tersedia
§ Potensi permintaan dalam negeri memadai
§ Sebagai pendorong perkembangan industri manufaktur dalam negeri
§ Kesempatan kerja menjadi luas
§ Pengurangan ketergantungan impor, shg defisit berkurang’

2. Strategi promosi ekspor (outward Looking)
Beorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri dalam negeri yang memiliki keunggulan bersaing.
Rekomendasi agar strategi ini dapat berhasil :

§ Pasar harus menciptakan sinyal harga yang benar yang merefleksikan kelangkaan barang yang bisa baik pasar input maupun output.
§ Tingkat proteksi impor harus rendah.
§ Nilai tukar harus realistis.
§ Ada insentif untuk peningkatan ekspor.

SOAL DAN JAWABAN

16. Awal konsep industrialisasi Revolusi industri di Inggris pada abad ke .....
a. 10
b. 15
c. 18
d. 23

17. Berikut ini yang bukan merupakan faktor-faktor pendorong industrialisasi adalah .....
a. Kemampuan teknologi dan inovasi
b. Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c. Kebijakan/strategi pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri orientasi ekspor.
d. Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan & penelitian masih rendah.

18. 1. Keterbatasan teknologi.
      2. Kualitas Sumber daya Manusia.
      3. Mendukung perkembangan sektor infrastruktur.
      4. Meningkatkan kemampuan teknologi.
      5. Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi      produk.
      6. Keterbatasan dana pemerintah (selalu difisit) dan sektor swasta.
      7. Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan &    penelitian masih rendah.
      8. Perbedaan kandungan sumber daya alam

manakah yang merupakan karena hal Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang dibandingkan di DCs .....
a. benar semua
b. 1,2,6,7
c. 3,4,5
d. hanya nomer 8

19. Startegi pelaksanaan industrialisasi terbagi menjadi .....
a. 2
b. 200
c. 20
d. 2000

20. penopang utama perkembangan industri di sebuah negara disebut .....
a. perusahaan dagang
b. perusahaan jasa
c. perusahaan manufaktur
d. perusahaan campuran





Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS 1 PERKEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA

Perkembangan Koperasi di Indonesia Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1992, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Perkembangan koperasi di Indonesia yaitu Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed 1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan pinjam. Kegiatan R ...

PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk

SEJARAH SINGKAT PERSEROAN /  BRIEF HISTORY OF THE COMPANY PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (“Perseroan”) didirikan pada tanggal 18 Januari 1971 dengan nama PT Java Pelletizing Factory, Ltd berdasarkan Akta No.59 di hadapan Notaris Djojo Muljadi, SH. Perseroan memulai produksi komersial pada tahun 1971 dengan produk utama pellet kopra. Dalam rangka memperkuat struktur permodalan, pada tahun 1989 Perseroan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Selanjutnya mengikuti sukses pencatatan saham tersebut pada tahun 1990 Perseroan melakukan konsolidasi usaha dengan mengakuisisi empat perusahaan pakan ternak. Sejak saat itu nama PT Java Pelletizing Factory Ltd berubah menjadi PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Pada tahun 1992 Perseroan melakukan integrasi strategis dengan mengakuisisi perusahaan pembibitan ayam dan pemrosesannya yang telah beroperasi secara komersial pada tahun 1985, serta usaha tambak udang dan pemrosesannya. Pada tahun 1994, PT Multibreeder Adir...

PENGANTAR BISNIS BESERTA SISTEM EKONOMI

1. DEFINISI DAN MACAM-MACAM SISTEM EKONOMI Sistem menurut Chester A. Bernard, adalah suatu kesatuan yang terpadu, yang di dalamnya terdiri atas bagian-bagian dan masing-masing bagian memiliki ciri dan batas tersendiri. Suatu sistem pada dasarnya adalah “organisasi besar” yang menjalin berbagai subjek (atau objek) serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Subjek atau objek pembentuk sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat, untuk suatu sistem sosial atau sistem kemasyarakatan dapat berupa makhluk-makhluk hidup dan benda alam, untuk suatu sistem kehidupan atau kumpulan fakta, dan untuk sistem informasi atau bahkan kombinasi dari subjek-subjek tersebut. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga atau wadah tempat subjek (objek) itu berhubungan, cara kerja dan mekanisme yang menjalin hubungan subjek (objek) tadi, serta kaidah atau norma yang mengatur hubungan subjek (objek) tersebut agar serasi. Kaidah atau norma yang dimaksud bisa berupa aturan atau...
Diagonal Select - Hello Kitty 2