Sabtu, 25 Oktober 2014
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia-Japan Economic
Partnership Agreement (IJEPA) perlu direvisi ulang. Dalam implementasinya,
banyak hal yang dinilai masih merugikan Indonesia. Misalnya, untuk urusan
hambatan non-tarif, seperti standardisasi. Meskipun ada penurunan tarif bea
masuk ke Jepang dalam IJEPA, namun produk Indonesia belum leluasa menembus
pasar Jepang, akibat tak mampu memenuhi standar.
"Dengan IJEPA ini diharapkan ada peningkatan ekspor
untuk produk pertanian, perikanan dan perkebunan. Tetapi IJEPA tidak membuat
kualifikasi standar yang menjadi hambatan nontarif di Jepang melemah,"
ungkap penulis buku "Dalam Bayangan Matahari Terbit", Shanti
Darmastuti.
Dalam buku yang ditulis bersama Syamsul Hadi itu,
dicontohkan standardisasi produk perkebunan yang menyulitkan adalah sistem
pengenalan residu pestisida. Sistem ini diberlakukan pemerintah Jepang sejak
Mei 2006. Dalam sistem ini, ditetapkan ambang batas yang ketat untuk sekitar
50.000 residu kimia dalam 734 jenis pestisida. Tak hanya untuk produk segar
saja, Shanti juga menerangkan terdapat kecenderungan produk usaha kecil
menengah semakin sulit menembus pasar ekspor. Jepang, dan negara maju lain
seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, mulai menerapkan jejak telusur
produk (trace ability) makanan dan minuman. Jargon cinta produk dalam negeri
bukan hanya milik Indonesia. Masyarakat Jepang malah lebih memegang dan
mengimplementasikan jargon ini. Shanti, dalam bukunya menyebut, kesulitan
menembus pasar Jepang disebabkan juga oleh karakter masyarakat Jepang, yang
lebih menyukai produk nasional mereka.
"Istilah koku-san daichi, yang artinya produk dalam
negeri adalah nomor satu, telah menjadi semacam ideologi dalam masyarakat
Jepang," kata dia.
Namun demikian, Shanti juga memandang, masih susahnya produk
Indonesia menembus pasar Jepang sedikit banyak disebabkan PR domestik yang
belum rampung. Misalnya, sebenarnya kata dia, permintaan sayuran segar
(hortikultura) dari Jepang sangat tinggi. Produsen petani di Indonesia tidak
mampu memenuhi permintaan.
"Kita tidak bisa memenuhi permintaan itu
karena domestik kita masih berhadapan dengan masalah infrastruktur, suku bunga,
dan sebagainya. Sehingga produktivitas petani rendah," ujar Shanti.
Sumber: http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/25/mengapa-produk-indonesia-susah-menembus-pasar-jepang
Komentar
Posting Komentar